Sepenggal Kisah Perjalananku

Sepenggal Kisah Perjalananku


Angin menggerakan tubuhku yang menempel, meniup lembut aku dan teman-temanku yang hijau. Menjatuhkan mereka yang terlebih dahulu ada, yang telah lebih lama menikmati dunia ini. Berkas-berkas cahaya terkadang menembus kerumunan kami, tampak seperti pilar-pilar kokoh yang terpancang kuat di tanah, seakan menyangga langit yang bisa  runtuh kapan saja. Dan sewaktu gulita datang bersama malam, kami beristirahat sejenak setelah membuat suplai makanan seharian. Ketika rembulan berpendar, memancarkan cahaya lembut keperakan, tubuh-tubuh kami akan berkilau merefleksikan selagi berdansa bersama aliran udara.

Hmm lalu, siapa kiranya aku ini?

Aku hanya sehelai daun lonjong yang beranjak uzur, dari sebuah pohon yang berumur puluhan tahun, tepatnya aku tak tahu berapa. Mungkin 30 tahun? 40 kah? Entahlah, karna tingginya yang mencapai 21 meter.

Beringin, julukan yang disematkan pada induk pohonku, ada pula yang memanggilnya caringin,  yang lain ringin, bahkan bahasa yang lebih sulitpun ada, Ficus benjamina, tetapi tetap mengacu pada pohon besar yang keluar akarnya dari sela-sela batang. Entah kenapa  mereka  menamakannya begitu, mereka yang mengeklaim berakal, yang sering memperebutkan helaian olahan pohon, manusia.

Begitu damai ku kira kehidupan ini,mengikuti alunan alam membawa kita kepada keseimbangan. Daun seperti ku hanya mengikuti kemauan alam, tidak memaksa alam tunduk kepada kita, sebagai makhluk yang bernaung kepadanya.

Sepi dan hening, lokasi tempat induk pohonku berada, hanya sesekali sekelompok manusia datang ke tempatku, menggali lubang dan uhmm menanam(?) sesamanya mungkin,aku tak tau namanya. Karna yang kulihat adalah sebuah buntelan putih yang dimasukan ke lobang galian. Kemudia mereka mengelilingi saudaranya yang sudah tertutup tanah, sambil memanjatkan doa kepada Gusti Kang Gawe Urip (Sang Pembuat Kehidupan).

“Hei, ku lihat kau melamun sejak tadi? Memangnya ada apa?”

Ku tengok sebelahku, oh ternyata si kuning, dia jauh lebih tua dariku dan sedikit lebih panjang, sekitar 5 cm-an. Seperti  namanya, ia daun yang berwarna kuning, karna klorofil di tubuhnya mulai hilang.

“Aku hanya kepikiran kelakuan manusia, yang sering duduk dan berbicara pada kita, tiap malam tertentu” aku menghirup karbondioksida dari stomata di tubuhku, ”sambil membawa aneka bunga yang berbau wangi”.

“Yah dan juga bisik-bisik para perempuan setengah baya kepada anaknya, agar jangan dekati kita, karna konon ada yang suka nongkrong di dahan kita tiap malam, hahaha”.

“Hahaha bisa saja kau ning”, ujarku menambahkan, ”Yang seperti itu kan sudah ga ada lagi, sekarang mereka lebih suka melekat di diskotik, kalo tidak di gedung yang katanya punya rakyat.”

"Dan cerita itu pun bernasib sama, dianggap lalu di era moderm ini"

WUUUSSHH

Hembusan angin menerpa tubuh kami, gemerisik bunyinya, ketika tubuh kami saling bergesekan. Menghentikan sejenak obrolan kami yang mulai larut.

Ya, benar yang dikatakan si Kuning, cerita-cerita yang menyelubungi pohon-pohon besar mulai tergerus waktu. Dahulu sedikit sekali orang yang berani mengusik keberadaan pohon-pohon besar, takut kualat, takut kena kutuk dan pamali. Aku mulai menyadari cerita-cerita itulah yang menjaga eksistensi alam dari pengrusakan oleh makhluk berbudi.

****

Tubuhku melayang melintasi atas bumi. Kesana kemari tanpa mengikuti kata hati, hanya aliran angin yang menjadi haluan. Benda-benda aneh berulang kali tertangkap oleh pandanganku, mulai dari sesuatu seperti pohon yang berdiri dari kumpulan ranting sewarna darah, dan ketika malam nyala api muncul dari puncaknya, kerlap-kerlip seakan tertiup angin malam.

Ada lagi hewan kubus yang berseliweran sambil menggeram, coraknya melebihi pelangi yang hanya tujuh. Bahkan ketika gulita telah meyelimuti segalanya, berkas cahaya memancar dari matanya yang laksana senthir. Benar-benar mengagumkan! Entah berapa kali aku harus berdecak kagum, melihat hal-hal yang tak lumrah aku temui.

Sepenggal Kisah Perjalananku


Ya, sekarang aku telah berkelana, sudah beberapa hari aku tak menempel lagi di dahan, yang memberi keteduhan bagi tiap-tiap yang ingin melepas lelah.

Tunggu tunggu...Aku belum setua itu sampai rontok, walaupun tubuhku sudah banyak kehilangan klorofil. Lalu bagaimana bisa aku seperti ini, seperti yang terlintas di pikiranmu sekarang ini?

Indukku telah diambrukan, dimutilasi menjadi potongan-potongan yang mati. Aku tak tahu nasibnya sekarang, apakah berakhir menjadi bahan pembakaran di tungku orang-orang desa atau menjelma menjadi bermacam kerajinan. Tapi yang jelas tidak sama nasibnya, dengan pohon Sengon, Pinus, Meranti, ataupun Jabon. Menjadi helaian tempat tercetaknya rangkaian tinta, yang memberi pengetahuan pada para cendekiawan. Menganugerahkan intelejensi untuk melawan kediktatoran penguasa ketika proses pembelajaran, namun pada akhirnya akan menindas kaum papa, ketika mereka telah mendekap dengan eratnya jabatan dunia.

Mereka kemudian memisahkan kami, dedaunan, dari batang-batang beringin, mencampakan kami seperti tak berguna lagi. Meninggalkan kami yang menggunung, berserak di tanah pemakaman. Hanya angin yang belum enggan, menghamburkan kami, membawanya menembus fantasi yang tidak pernah berani tuk termimpi. Dialah yang dengan berani mengajakku untuk melihat dunia sekarang ini, menjejalkan tingkah dan polahnya akal manusia kepadaku.

TUK

Aku mendarat di tepi sungai hitam yang tak berair, nampak banyak hewan kubus berderet, seperti semut-semut yang biasa berjalan di ranting-ranting, diantara bergelantungnya akar ringin. Disisi lainnya tampak manusia berjalan dengan terburu-buru seakan mengejar sang kala yang tlah berlalu. Dengan pakaian aneka rupa, serta bermacam warna, dan tak lupa model rambut yang berbeda. Sedikit terperangah membungkus perasaanku saat ini.

DIIIINNN DDIIIIIINNNN

Suara lolongan dari hewan kubus, membuyarkan lamunanku. Hewan kubus itu berhenti, membuat alur panjang di sungai hitam itu. Dari dalamya menjulur kepala manusia, marah dari ekspresinya yang kutangkap. Sungguh mengherankan. Semut-semut saja ketika jalannya tertutup jatuhnya kami, mereka tidak saling mengerutkan wajah. Mereka dengan perlahan memutari kami, kemudian melanjutkan kembali perjalanan yang tertunda.

SREEK SREEEK SREEEK

Auw, tiba-tiba tubuhku dilemparkan tanpa aba-aba, oleh rangkaian batang-batang lurus yang tersusun rapi, diayunkan oleh tangan yang termakan usia, seorang manusia yang sudah uzur. Ukh pandanganku seakan berputar-putar. Masih terlihat gerombolan awan melekat di langit biru, tak lama, yang terlihat hanya gelap. Sesuatu menutupi tubuhku.

****

Gluduk Gluduk Gluduk

Gelap. Tak nampak apapun, kecuali gumpalan hitam pekat yang menutupi pandanganku. Aneh, perasaanku tadi semuanya nampak baik-baik saja. Kemana larinya cahaya yang memenuhi muka bumi? Apakah sekarang Bathara Kala sudah melampiaskan amarahnya pada Sang Surya? Dendam yang berkobar membuatnya ingin melahap matahari, dan sekarang adalah waktu itu semua terjadi?

Gluduk Gluduk Gluduk

Gempa bumi? Tempat pijakku bergetar, tubuhku terdorong kiri kanan, terkadang atas bawah, seperti dilontarkan meriam. Dalam perut kegelapan ini, bumi tak mau berhenti bergetar. Hmmm apakah dia merasa sedih, karna sang surya telah tiada?

Gluduk Gluduk Gluduk Ciiiiiiitttttttttt

Diam. Aneh tiba-tiba semuanya berhenti, sepi lebih tepatnya sunyi. Seakan waktu dihentikan oleh tangan yang tak terlihat.

SREEEEK BUUUKK SREEEK BUUUUKKK

Woahh suara apa lagi itu? Kedengarannya seperti makhluk  yang menyeramkan. Apa jangan-jangan itu suara Bathara Kala?

SREEEEEEKKK WUNNNGGGG

Uuaahhhhh tiba-tiba aku dilempar!

PLASH

Berkas sinar matahari menghantam tubuhku yang berada di awang-awang, ternyata Sang Surya masih utuh, seperti kuning telur burung, bulat dan kuning keemasan coraknya. Agaknya dia berhasil menyelamatkan diri dari Bathara Kala. Sepoi-sepoi angin memberiku jalan, diantara serakan benda yang mulai turun ke bumi. Tubuhku yang semakin ringkih nampaknya bukan hal yang berat untuk ditarik oleh kuatnya lengan angin.

Tubuhku semakin membumbung, seakan mencoba meraih birunya langit, menyadarkanku akan keberadaanku. Sepertinya aku sudah tidak berada di dunia, aku bisa melihat aneka ragam warna tanah, merah, kuning, hijau, kadang belang hitam putih, dan ada juga yang tampak seperti sapi, dan banyak lagi, tak berwarna coklat kehitaman seperti tempatku berada dulu. Disana-sini aku bisa memandang gundukan bukit berderet-deret, masih melebihi indahnya guratan warna pelangi, berkilau memantulkan cahaya matahari seperti air. Semakin tinggi ku terbang, merayapi bukit-bukit itu, terus lebih tinggi lagi, hingga bisa kusaksikan sekelilingku dengan jelas.

Aku bisa melihat manusia dengan sesuatu seperti gunung, dengan puncak lancip, di kepala mereka, memegang tongkat dengan ujung lengkung. Sesekali mereka mengambil sesuatu diantara tanah, lalu memasukannya ke dalam kantung.  Kucoba lebih memincingkan penglihatanku, oohhhh ternyata mereka mengambil benda tabung transparan, terkadang ada yang bentuknya besar, adapula yang kecil. Mereka lakukan hal itu terus menerus, berjalan kesana kemari mencari benda tembus pandang itu.

Jangan-jangan itu kristalisasi roh makhluk hidup?!, dan mereka itu malaikat yang sedang menyeleksi pantas tidakkah makhluk itu untuk memasuki surga?! Mungkin besar kecilnya tabung transparan itu adalah representasi dari amalan yang dikerjakannya di dunia, semasa mereka hidup. Dan aku sekarang mungkin ada di depan perhitungan Sang Khalik.

Angin mulai lelah membawaku, perlahan ia menurunkan tubuhku di atas bukit. Matahari yang nampak agung tadinya, mulai mengecil seirings jatuhnya aku.

TUK

Aku mendarat mulus di bumi, yang kukira tanah yang berwrna-warni,  sekarang seperti kumpulan benda tipis yang memenuhi permukaan tanah, saling menumpuk diri hingga meninggi. Hmm benda apakah itu kiranya? Belum pernah kutemui di pemakaman, tempat induk beringinku hidup. Sebenarnya aku dimana??!!!

Sumber gambar: Lane Sane dan Theophilos Papadopoulos.